Sebagai warisan
kebudayaan Aceh, tarian ini harus kita jaga dan kita lestarikan, terutama
kepada generasi muda yang kurang mencintai kebudayaan daerah. berikut nama-nama tarian suku gayo:
1.
Tari Saman
Tari
Saman adalah sebuah tarian suku Gayo yang biasa ditampilkan untuk
merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat. Syair dalam tarian Saman
mempergunakan bahasa Arab danbahasa Gayo. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk
merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa literatur menyebutkan
tari Saman di Aceh didirikan dan dikembangkan oleh Syekh Saman, seorang ulama
yang berasal dari Gayo di Aceh Tenggara.
Tari
saman merupakan salah satu media untuk pencapaian pesan (dakwah). Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun,
kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.
Sebelum
saman dimulai yaitu sebagai mukaddimah atau pembukaan, tampil seorang tua
cerdik pandai atau pemuka adat untuk mewakili masyarakat setempat (keketar)
atau nasihat-nasihat yang berguna kepada para pemain dan penonton.
Lagu dan syair pengungkapannya secara bersama
dan kontinu, pemainnya terdiri dari pria-pria yang masih muda-muda dengan
memakai pakaian adat. Penyajian tarian tersebut dapat juga dipentaskan,
dipertandingkan antara group tamu dengan grup sepangkalan (dua grup). Penilaian
ditititk beratkan pada kemampuan masing-masing grup dalam mengikuti gerak, tari
dan lagu (syair) yang disajikan oleh pihak lawan.
Tari
Saman biasanya ditampilkan tidak menggunakan iringan alat musik, akan tetapi menggunakan suara dari
para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul
dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke
berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut
Syech. Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan
dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki
konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan
sempurna. Tarian ini khususnya ditarikan oleh para pria.
Pada
zaman dahulu,tarian ini pertunjukkan dalam acara adat tertentu,diantaranya
dalam upacara memperingati hari kelahiranNabi Muhammad SAW. Selain itu, khususnya dalam konteks
masa kini, tarian ini dipertunjukkan pula pada acara-acara yang bersifat
resmi,seperti kunjungan tamu-tamu Antar Kabupaten danNegara,atau dalam pembukaan sebuah festival dan acara lainnya.
Nyanyian
para penari menambah kedinamisan dari tarian saman. Cara menyanyikan lagu-lagu
dalam tari saman dibagi dalam 5 macam :
a.
Rengum
: auman yang
diawali oleh pengangkat.
b.
Dering
: regnum yang
segera diikuti oleh semua penari.
c.
Redet
: lagu singkat
dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah
tari.
d.
Syek
: lagu yang
dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking,
biasanya sebagai tanda perubahan gerak.
e.
Saur
: lagu yang diulang
bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo.
Tarian
saman menggunakan dua unsur gerak yang menjadi unsur dasar dalam tarian saman:
Tepuk tangan dan tepuk dada.Diduga,ketika menyebarkan agama islam,syeikh saman mempelajari tarian melayu
kuno,kemudian menghadirkan kembali lewat gerak yang disertai dengan syair-syair
dakwah islam demi memudakan dakwahnya.Dalam konteks kekinian,tarian ritual yang
bersifat religius ini masih digunakan sebagai media untuk menyampaikan
pesan-pesan dakwah melalui pertunjukan-pertunjukan.
Tarian
saman termasuk salah satu tarian yang cukup unik,kerena hanya menampilkan gerak
tepuk tangan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak
guncang,kirep,lingang,surang-saring (semua gerak ini adalah bahasa Gayo).
Pada
umumnya,Tarian saman dimainkan oleh belasan atau puluhan laki-laki, tetapi
jumlahnya harus ganjil.Pendapat Lain mengatakan Tarian ini ditarikan kurang
lebih dari 10 orang,dengan rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba
sambil bernyanyi.Namun, dalam perkembangan di era modern yang menghendaki bahwa
suatu tarian itu akan semakin semarak apabila ditarikan oleh penari dengan
jumlah yang lebih banyak. Untuk mengatur berbagai gerakannya ditunjuklah
seorang pemimpin yang disebut syeikh. Selain mengatur gerakan para
penari,Syeikh juga bertugas menyanyikan syair-syair lagu saman. yaitu ganit.
2.
Tari Bines
Tari
Bines merupakan tarian tradisional yang berasal dari kabupaten Gayo Lues. Tari Bines merupakan bentuk tarian yang dimainkan oleh
12-14 orang perempuan dengan gerakan mengayunkan tangan dan diikuti irama
gerakan badan serta alunan lagu-lagu Gayo yang di bawakan oleh salah satu
penari. Mereka menyanyikan syair yang berisikan dakwah atau informasi
pembangunan. Para penari melakukan gerakan dengan perlahan kemudian
berangsur-angsur menjadi cepat dan akhirnya berhenti seketika secara serentak.
Tari
ini juga merupakan bagian dari tari Saman saat penampilannya. Hal yang menarik
dari tari Bines adalah beberapa saat mereka diberi uang oleh pemuda dari desa
undangan dengan menaruhnya diatas kepala perempuan yang menari.
3.
Tari Didong
Sebuah
kesenian rakyat Gayo yang dikenal dengan nama Didong,
yaitu suatu kesenian yang memadukan unsur tari, vokal, dansastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge
XIII. Kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To`et. Kesenian didong lebih digemari oleh
masyarakat Takengon dan Bener Meriah.
Ada
yang berpendapat bahwa kata “didong” mendekati pengertian kata “denang” atau
“donang” yang artinya “nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau
bersama-sama dengan bunyi-bunyian”. Dan, ada pula yang berpendapat bahwa Didong
berasal dari kata “din” dan “dong”. “Din” berarti Agama dan “dong” berarti Dakwah.
Pada
awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaranagama Islam melalui media syair. Para ceh didong (seniman didong)
tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan
nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat
pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi
dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius,
nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam
ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita
religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu serta berperilaku
baik. Pendek kata, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki
kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan
ajaran Islam. Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar Agama Islam.
Dalam
perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti perkawinan, khitanan,
mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan sebagainya. Para pe-didong
dalam mementaskannya biasanya memilih tema yang sesuai dengan upacara yang
diselenggarakan. Pada upacara perkawinan misalnya, akan disampaikan teka-teki
yang berkisar pada aturan adat perkawinan. Dengan demikian, seorang pe-didong
harus menguasai secara mendalam tentang seluk beluk adat perkawinan. Dengan
cara demikian pengetahuan masyarakat tentang adat dapat terus terpelihara.
Nilai-nilai yang hampir punah akan dicari kembali oleh para ceh untuk keperluan
kesenian didong.
Penampilan
didong mengalami perubahan setelah Jepang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah Jepang yang keras telah
“memporak-porandakan” bentuk kesenian ini. Pada masa itu, didong digunakan
sebagai sarana hiburan bagi tentara Jepang yang menduduki tanah Gayo. Hal ini memberikan inspirasi bagi
masyarakat Gayo untuk mengembangkan didong yang syairnya tidak hanya terpaku
kepada hal-hal religius dan adat-istiadat, tetapi juga permasalahan sosial yang
bernada protes terhadap kekuasaan penjajah Jepang. Pada masa setelah
proklamasi, seni pertunjukan didong dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah
dalam menjembatani informasi hingga ke desa-desa khususnya dalam menjelaskan
tentang Pancasila, UUD 1945 dan semangat bela negara. Selain itu, didong juga digunakan
untuk mengembangkan semangat kegotong-royongan, khususnya untuk mencari dana
guna membangun gedung sekolah, madrasah,mesjid,
bahkan juga pembangunan jembatan. Namun, pada periode 1950-an ketika terjadi
pergolakan DI/TII kesenian didong terhenti karena
dilarang oleh DI/TII. Akibat dilarangnya didong, maka
muncul suatu kesenian baru yang disebut saer, yang bentuknya hampir mirip
dengan didong. Perbedaan didong denga saer hanya dalam bentuk unsur gerak dan
tari. Tepukan tangan yang merupakan unsur penting dalam didong tidak dibenarkan
dalam saer.
Dewasa
ini didong muncul kembali dengan lirik-lirik yang hampir sama ketika zaman Jepang, yaitu berupa protes (anti kekerasan).
Bedanya, dewasa ini protesnya ditujukan kepada pemerintah yang selama sekian tahun menerapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, sehingga menyengsarakan rakyat.
Protes anti kekerasan sebenarnya bukan hanya terjadi pada kesenian didong,
melainkan juga pada bentuk-bentuk kesenian lain yang ada di Aceh.
Satu
kelompok kesenian didong biasanya terdiri dari para “ceh” dan anggota lainnya
yang disebut dengan “penunung”. Jumlahnya dapat mencapai 30 orang, yang terdiri
atas 4–5 orang ceh dan sisanya adalah penunung. Ceh adalah orang yang dituntut
memiliki bakat yang komplit dan mempunyai kreativitas yang tinggi. Ia harus
mampu menciptakan puisi-puisi dan mampu menyanyi. Penguasaan terhadap lagu-lagu
juga diperlukan karena satu lagu belum tentu cocok dengan karya sastra yang
berbeda. Anggota kelompok didong ini umumnya adalah laki-laki dewasa. Namun,
dewasa ini ada juga yang anggotanya perempuan-perempuan dewasa. Selain itu, ada
juga kelompok remaja. Malahan, ada juga kelompok didong remaja yang campur
(laki-laki dan perempuan). Dalam kelompok campuran ini biasanya perempuan hanya
terbatas sebagai seorang Céh.
Peralatan yang dipergunakan pada mulanya bantal (tepukan bantal) dan tangan
(tepukan tangan dari para pemainnya). Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada
juga yang menggunakan seruling, harmonika, dan alat musik lainnya yang disisipi
dengan gerak pengiring yang relatif sederhana, yaitu menggerakkan badan ke
depan atau ke samping.
Pementasan
didong ditandai dengan penampilan dua kelompok(Didong Jalu) pada suatu arena pertandingan.
Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang dilengkapi dengan
tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling mendendangkan
teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran. Dalam hal ini para senimannya akan
saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah lawannya.
Lirik-lirik yang disampaikan biasanya bertema tentang pendidikan, keluarga
berencana, pesan pemerintah (pada zaman Orba), keindahan alam maupun
kritik-kritik mengenai kelemahan, kepincangan yang terjadi dalam masyarakat.
Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada, yang biasanya
terdiri dari anggota masyarakat yang memahami ddidong ini secara mendalam.
4.
Tari Guel
Tari
Guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di NAD. Guel berarti membunyikan. Khususnya
di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah panjang dan unik. Para
peneliti dankoreografer tari mengatakan tarian ini bukan
hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik
dan seni tariitu sendiri.
Dalam
perkembangannya, tari Guel timbul tenggelam, namun Guel menjadi tari tradisi
terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya
apresiasi terhadap wujud alam, lingkungan kemudian dirangkai begitu rupa
melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari ini adalah media informatif.
Kekompakan dalam padu padan antara seni satra, musik/suara, gerak memungkinkan
untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan
pola pikir masyarakat setempat. Guel tentu punya filosofi berdasarkan sejarah
kelahirannya. Maka rentang 90-an tarian ini menjadi objek penelitian sejumlah
surveyor dalam dan luar negeri.
Pemda Daerah Istimewa Aceh ketika itu juga menerjunkan sejumlah tim dibawah
koodinasi Depdikbud (dinas pendidikan dan kebudayaan), dan tersebutlah nama Drs
Asli Kesuma, Mursalan Ardy, Drs Abdrrahman Moese, dan Ibrahim Kadir yang terjun
melakukan survey yang kemudian dirasa sangat berguna bagi generasi muda,
seniman, budayawan untuk menemukan suatu deskripsi yang hampir sempurna tentang
tari guel. Sebagian hasil penelitian ini yang saya coba kemukakan, apalagi
memang dokumen/literatur tarian ini sedikit bisa didapatkan.
Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di tanah Gayo.
tari Guel berawal dari mimpi seorang pemuda bernama Sengeda anak Raja Linge ke
XIII. Sengeda bermimpi bertemu saudara kandungnya Bener Meria yang konon telah
meninggal dunia karena pengkhianatan. Mimpi itu menggambarkan Bener Meria
memberi petunjuk kepada Sengeda (adiknya), tentang kiat mendapatkan Gajah putih
sekaligus cara meenggiring Gajahtersebut untuk dibawa dan
dipersembahakan kepada Sultan Aceh Darussalam. Adalah sang putri Sultan sangat
berhasrat memiliki Gajah Putih tersebut.
Berbilang
tahun kemudian, tersebutlah kisah tentang Cik Serule, perdana menteri Raja
Linge ke XIV berangkat ke Ibu Kota Aceh Darussalam (sekarang kota Banda Aceh).
Memenuhi hajatan sidang tahunan Kesutanan Kerajaan. Nah, Sengeda yang dikenal
dekat dengan Serule ikut dibawa serta. Pada saat-saat sidang sedang
berlangsung, Sengeda rupanya bermain-main di Balai Gading sambil menikmati
keagungan Istana Sultan.
Pada
waktu itulah ia teringat akan mimpinya waktu silam, lalu sesuai petunjuk
saudara kandungnya Bener Meria ia lukiskanlah seekor gajah berwarna putih pada
sehelai daun Neniyun (Pelepah rebung bambu), setelah usai, lukisan itu dihadapkan pada cahayamatahari. Tak disangka, pantulan cahaya yang
begitu indah itu mengundang kekaguman sang Puteri Raja Sultan. Dari lukisan
itu, sang Putri menjadi penasaran dan berhasrat ingin memiliki Gajah Putih
dalam wujud asli.
Permintaan
itu dikatakan pada Sengeda. Sengeda menyanggupi menangkap Gajah Putih yang ada
dirimba raya Gayo untuk dihadapkan pada tuan puteri dengan syarat Sultan
memberi perintah kepada Cik Serule. Kemudian dalam prosesi pencarian itulah
benih-benih dan paduan tari Guel berasal: Untuk menjinakkan sang Gajah Putih,
diadakanlah kenduri dengan meembakar kemenyan; diadakannya bunyi-bunyian dengan
cara memukul-mukul batang kayu serta apa saja yang menghasilkan bunyi-bunyian.
Sejumlah kerabat Sengeda pun melakukan gerak tari-tarian untuk memancing sang
Gajah.
Setelah
itu, sang Gajah yang bertubuh putih nampak keluar dari persembunyiaannya.
Ketika berpapasan dengan rombongan Sengeda, sang Gajah tidak mau beranjak dari
tempatnya. Bermacam cara ditempuh, sang Gajah masih juga tidak beranjak.
Sengeda yang menjadi pawang pada waktu itu menjadi kehilangan ide untuk
menggiring sang Gajah.
Lagi-lagi
Sengeda teringat akan mimpi waktu silam tentang beberapa petunjuk yang harus
dilakukan. Sengeda kemudian memerintahkan rombongan untuk kembali menari dengan
niat tulus dan ikhlas sampai menggerakkan tangan seperti gerakan belalai gajah:
indah dan santun. Disertai dengan gerakan salam sembahan kepada Gajah ternyata
mampu meluluhkan hati sang Gajah. Gajah pun dapat dijinakkan sambil diiringi
rombongan. Sepanjang perjalanan pawang dan rombongan, Gajah putih sesekali
ditepung tawari dengan mungkur (jeruk purut) dan bedak hingga berhari-hari
perjalanan sampailah rombongan ke hadapan Putri Sultan di Pusat Kerajaan Aceh
Darussalam.
Begitulah
sejarah dari cerita rakyat di Gayo, walaupun kebenaran secara ilmiah tidak bisa
dibuktikan, namun kemudian Tari Guel dalam perkembangannya tetap mereka ulang
cerita unik Sengeda, Gajah Putih dan sang Putri Sultan. Inilah yang kemudian
dikenal temali sejarah yang menghubungkan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh
Darussalam begitu dekat dan bersahaja.
Begitu
juga dalam pertunjukan atraksi Tari Guel, yang sering kita temui pada saat
upacara perkawinan, khususnya di Tanah Gayo, tetap mengambil spirit pertalian
sejarah dengan bahasa dan tari yang indah: dalam Tari Guel. Reinngkarnasi kisah
tersebut, dalam tari Guel, Sengeda kemudian diperankan oleh Guru Didong yakni
penari yang mengajak Beyi (Aman Manya ) atau Linto Baroe untuk bangun dari
tempat persandingan (Pelaminan). Sedangkan Gajah Putih diperankan oleh Linto
Baroe (Pengantin Laki-laki). Pengulu Mungkur, Pengulu Bedak diperankan oleh
kaum ibu yang menaburkan breuh padee (beras padi) atau dikenal dengan bertih.
Di
tanah Gayo, dahulunya dikenal begitu banyak penari Guel. Seperti Syeh Ishak di
Kampung Kutelintang-Pengasing, Aman Rabu di kampung Jurumudi-Bebesan, Ceh Regom
di Toweran. Penari lain yang kurun waktun 1992 sampai 1993 yang waktu itu masih hidup adalah
Aman Jaya-Kampung Kutelintang, Umer-Bebesan, Syeh Midin-Silih Nara Angkup,
Safie-Gelu Gele Lungi-Pengasing, Item Majid-Bebesan. Mereka waktu itu rata-rata
sudah berusia 60-an. Saat ini sudah meninggal sehingga alih generasi penari
menjadi hambatan serius.
Walaupun
ada penari yang lahir karena bakat sendiri, bukan langsung diajarkan secara
teori dan praktik oleh para penari pakar seperti disebutkan, keterampilan
menari mereka tak sepiawai para pendahulunya. Begitu juga pengiring penggiring
musik tetabuhan seperti Rebana semakin langka, apalagi ingin menyamakan dengan
seorang dedengkot almarhum Syeh Kilang di Kemili Bebesan.
Tari
Guel dibagi dalam empat babakan baku. Terdiri dari babak Mu natap, Babak II
Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar
adalah Salam Semah (Munatap ), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng
(Sengker Kalang), Dah-Papan. Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya
terdiri dari kelompok pria dan wanita berkisar antara 8-10 ( Wanita ), 2-4 (
Pria ). Penari Pria dalam setiap penampilan selalu tampil sebagai simbol dan
primadona, melambangkan aman manyak atau lintoe Baroe dan Guru Didong. Jumlah
penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh Canang, Gong, Rebana, dan Memong.
Tari Guel memang unik, pengalaman penulis merasakan mengandung unsur dan
karakter perpaduan unsur keras lembut dan bersahaja. Bila para pemain
benar-benar mengusai tarian ini, terutama peran Sengeda dan Gajah Putih maka
bagi penonton akan merasakan ketakjuban luar biasa. Seolah-olah terjadinya
pertarungaan dan upaya memengaruhi antara Sengeda dan Gajah Putih. Upaya untuk
menundukkan jelas terlihat, hingga kipasan kain kerawang Gayo di Punggung
Penari seakan mengandung kekuatan yang luar biasa sepanjang taarian. Guel dari
babakan ke babakan lainnya hingga usai selalu menawarkan uluran tangan seperti
tarian sepasang kekasih ditengah kegundahan orang tuanya. idak ada yang menang dan
kalah dalam tari ini, karena persembahan dan pertautan gerak dan tatapan mata
adalah perlambang Cinta. Tapi sayang, kini tari Guel itu seperti kehilangan
Induknya, karena pemerintah sangat perhatian apalagi gempuran musik hingar
modern seperti Keyboar pada setiap pesta perkawinan di daerah itu.
5.
Tari Mesekat
Mesekat
merupakan tarian yang dibawakan oleh anak-anak sampai orang dewasa secara
berkelompok dengan posisi berbaris, sepertinya halnya orang shalat saat membaca
tahayatul akhir. Dalam tarian biasanya yang dipilih menjadi imam adalah kadi ataushe yang
nantinya menjadi panutan dalam gerak dan syair yang dibacakan secara serentak
dan serasi dan dilaksanakan dengan irama shalawat dan qasidah.
Tari
mesekat melahirkan suatu karya seni yang sifatnya klasik tradisional, cara
membawakannya harus dengan menghafal dari berbagai ragam atau dengan cara
berurutan. Dalam permainanya peserta memakai baju adat dengan jumlah pemain
minimal 18 orang. Dalam syairnya dapat diartikan sebagai himbauan kepada masyarakat
atau pemerintah desa, camat, bupati tentang hal-hal pembangunan./A M U.